Yap, kata-kata deskripsi singkat di atas adalah lontaran kata-kata yang saya terima dari teman-teman saya. Bukan hanya dari teman-teman, bahkan sebagian dari anggota keluarga saya mengatakan hal yang sama. “Beli laptop kok mahal banget sih? Liat tuh punya X, harga 5 juta doang bisa ngegame lancar”.
Reaksi awal saya tentunya kesal, bahkan sekarang saya cenderung menghindari orang-orang yang mengatakan sedemikian rupa. Di mata orang lain, mungkin laptop hanyalah sebuah perangkat yang menunjang kebutuhan Office bagi pekerja kantoran, tugas bagi mahasiswa, atau gaming bagi gamer kelas berat.
Alasan saya kesal termasuk masuk akal, karena kebutuhan utama penggunaan laptop saya sehari-hari adalah untuk pekerjaan. Sebagai programmer, sebuah Personal Computer, entah itu Laptop, Desktop, ataupun AIO akan kita gunakan penuh dari pagi sampai malam (bahkan 24 jam kalau kejar deadline).
Namun fakta bahwa saya mengeluarkan uang yang cukup besar untuk sebuah MacBook tidak bisa dipungkiri, toh barangnya ada, saya bawa laptop ini di tas setiap hari, jadi ya mau sekesal apapun juga ya harus dimaklumi.
Walaupun awalnya blind buy, tapi setelah satu tahun pemakaian, saya merasakan perbedaan yang sangat jauh pada beberapa aspek jika dibanding dengan laptop biasa. Alasannya beragam.
Load Time#
Foto oleh Clint Patterson dari Unsplash
Load Time berarti waktu berapa lama sebuah perangkat dapat menyelesaikan suatu tugas. Sebagai contoh pada saat kita membuka browser, contohnya Google Chrome, kita akan menunggu beberapa detik setelah kita meng-klik ikon browser tersebut. Berapa detik kita menunggu Google Chrome terbuka itu disebut dengan Load Time.
Sama halnya dengan Game, entah itu membuka daerah baru, atau pada saat transisi ke suatu ruangan, atau sebelum kita melawan final-boss, akan ada loading sebelum kita bisa melaksanakan aktivitas kita selanjutnya.
Tentu saja, ngoding juga perlu Load Time cepat. Saya pernah mendengar beberapa keluhan dari teman-teman programmer lainnya, bahkan teman-teman sesama mahasiswa Teknik Informatika:
Eh lu tau enggak? Gue kalau udah nungguin loading bisa sambil makan atau ngemil dulu. Atau tak tinggal boker. Lama banget dah! 🤦♂️
Atau bahkan lebih parah:
Ghits, gue pernah ya nungguin Flutter keinstal, lama banget, sampai pas nunggu gue main HP kan. Tapi ketika gue main HP, gue lupa waktu tuh, tau-tau udah malam.
Buset dah. Tapi ya load time tidak bisa kita salahkan sepenuhnya dalam kasus ini, karena faktor utama penyebab load time lama adalah ketidakmampuan prosesor atau RAM dalam memproses dan mengalokasikan data yang diterima. Tentu saja kecepatan HDD / SSD juga berpengaruh.
Saya sendiri memiliki pengalaman untuk mem-benchmark MacBook dengan laptop ASUS X441UV saya yang lama. Untuk membuka sebuah project Flutter, sampai running, perbedaan load time-nya sangat drastis.
Device | Running Time |
---|---|
MacBook Pro M1 2020 | 24s |
ASUS X441UV | 1m 12s |
Jadi kesimpulannya, dengan mengeliminasi load time, kita sebagai pengembang bisa berfokus ke hal lain yang lebih penting seperti memikirkan logika dari suatu sistem yang dibangun. Mengeliminasi load time juga menghasilkan waktu produktif yang lebih lama.
Battery Life#
Foto oleh Panos Sakalakis dari Unsplash
Pada dasarnya, kebutuhan laptop itu bisa dibawa kemana saja, tanpa perlu mengkhawatirkan tidak ada stop kontak. Masalah utama pada laptop sekarang adalah masalah baterai. Laptop-laptop pada umumnya, memiliki battery cycle yang akan menurun seiring dengan penggunaan. Kasus yang saya alami pada laptop ASUS saya, laptop itu bisa bertahan tanpa perlu nge-charge di tahun pertama. Tahun kedua sudah mulai ngedrop, dan harus full charge di bulan ketiga.
Ada tiga opsi yang saya bisa lakukan:
- Opsi termurah, Colok terus, risikonya kalau tiba-tiba tercabut atau mati listrik.
- Agak mahal, ganti baterai.
- Opsi mahal, ganti laptop.
Pada saat itu, sebagai pelajar SMK, saya tidak memiliki uang untuk membeli baterai. Jadi saya ambil opsi pertama. Sebenarnya risikonya tinggi, jika pada saat Windows Update, dayanya tercabut, ada kemungkinan Windowsnya corrupt. Atau pada saat ngegame atau ngedesain, ada kemungkinan data progressnya hilang.
Hari ini, pada saat blog ini ditulis, MacBook saya sudah berusia 1 tahun lebih, dan battery lifenya masih di angka 87%. Masih bisa survive seharian penuh dibawah workload yang banyak.
Battery health 100% ke 87% dalam satu tahun termasuk boros karena ada sedikit kesalahan yang saya perbuat, saya menginstal VSCode versi Intel sementara MacBook saya menggunakan arsitektur ARM. Tentunya saat itu, terjadi battery drain dari 100% ke 20% dalam waktu 2 jam. Sangat boros.
Performa#
Foto dari Tekno Cerdas.
Siapa yang mengira bahwa Apple Silicon bisa melebihi performa prosesor Intel yang pada saat itu terbaru dan terkuat? Dilansir dari Techjourneyman, saat Apple Silicon M1 dirilis, ia berhasil mengalahkan prosesor Intel Generasi ke-10 yang terbaiknya (i9-10980HK) sehingga Intel harus melawan kembali.
Tentunya Intel berhasil mengalahkan M1 dengan merilis i9-11900K, namun dikalahkan lagi secara mutlak oleh M1 Max dan M1 Ultra. Secara performa, dan Integrated GPU, M1 jauh di atas Intel, karena Intel bergantung kepada External GPU seperti Nvidia.
“Dengan performa sebaik itu, dan kekuatan setinggi itu, bagimana penggunaan baterainya, apakah boros?” Tidak. Karena arsitektur M1 yang merupakan ARM yang berfokus kepada keseimbangan ukuran prosesor, penggunaan daya yang lebih rendah, panas yang lebih rendah, kecepatan, dan kehidupan baterai yang lebih panjang. Berbeda dengan prosesor yang memiliki arsitektur x86 yang mengoptimisasikan performa, namun memakan daya yang sangat besar.
Kekurangan#
Tidak adil jika saya hanya mengutarakan kelebihan MacBook sementara tidak mengutarakan kekurangannya. Tentunya, hal-hal yang saya rasakan ini memiliki impact yang sangat besar bagi saya:
Learning Curve yang lumayan terjal. Sebagai pengguna MacBook baru, MacOS memiliki banyak fitur yang mengandalkan shortcut jika ingin bekerja lebih cepat. Terlebih lagi, perbedaan UI dari Windows ke MacOS sangatlah berbeda.
Tidak modular, sekalinya Anda membeli MacBook, tidak ada opsi untuk meng-upgradenya dari sisi storage, RAM, ataupun prosesor. Ya, semua komponen telah tersolder ke motherboard.
Aplikasi Windows tidak bisa diinstal pada MacOS. Walaupun ada beberapa pengembang yang bisa membawa aplikasinya ke MacOS, namun kebanyakan juga tidak bisa diinstal begitu saja. Solusinya, Anda bisa menggunakan versi web dari aplikasi tersebut, atau diinstal pada sebuah Virtual Machine seperti Parallels.
Fitur-fitur yang sudah lama disediakan oleh Windows, belum ada di MacOS. Fitur yang sering saya butuhkan di Windows adalah volume mixer. Software simpel yang bertujuan untuk mengatur suara tiap aplikasi, tidak disediakan pada MacOS. Entah dalam tahap pengembangan, atau Apple sengaja tidak membuatnya.
Kapitalisme at it’s best. Banyak program berbayar yang overpriced, bahkan untuk penambahan storage iCloud, kita harus membayar subscription. Setiap fitur bawaan Apple seperti Music, TV, Podcasts semuanya berbayar.
Port. MacBook rilisan tahun 2020 ke atas, dengan seri 13-inch, tidak memiliki port yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Hanya 2 port thunderbolt type C yang disediakan oleh Apple, dan tidak ada port lain. Jadi terpaksa saya harus membeli dongle, yang tentunya tak kalah mahal juga.
Akhir kata#
Disamping mewahnya Logo Apple yang disajikan, banyak kelebihan dari MacBook yang sudah saya rasakan. Namun apakah MacBook ini worth to buy, jujur, tidak. Saya secara pribadi lebih prefer ke Linux, dengan pengoptimasian yang sedemikian rupa (namun rumit), Anda bisa mendapatkan performa setara MacBook atau lebih dengan menggunakan Linux tanpa mengeluarkan budget puluhan juta.
Bahkan bisa saya katakan, laptop ASUS X441UV saya hampir mencapai performa MacBook M1 untuk basic daily usage ketika menggunakan Arch Linux. Jadi, untuk kalian yang ingin membeli produk Apple, pertimbangkan ulang budget-nya, ya 😬.